Aku Harus Bangkit! ; by Denisha K.A
Aku Harus Bangkit!
Aku melihat jam
tanganku. Jam 09.40, waktunya istirahat. Saatnya aku beranjak dari belakang
gudang lama sekolahku. Aku tahu, apa yang kalian pikirkan—tentang mengapa aku
tak berada di kelas pada jam pelajaran—itu benar. Aku membolos. Jika kalian
pikir aku ini anak baik-baik, kalian salah. Ini bukan seperti cerita-cerita di
novel dimana tokoh perempuan selalu tokoh yang polos, baik hati, dan ceria.
Nyatanya, aku sama sekali tak seperti itu. Well, I'm the main character of
my life story, right?
Aku bergegas
keluar menjauhi bangunan gudang lama itu, dengan harap bahwa tak ada yang
melihatku. Aku tak suka jika tempatku—maaf, gudang lama itu sudah kuresmikan
sendiri sebagai tempatku—diketahui oleh orang lain. Mungkin kalian bertanya
mengapa bukan rooftop yang aku pilih. Tetapi coba pikirkan, berapa orang
yang kira-kira sudah mengklaim bahwa rooftop itu miliknya? Itu tempat
yang sangat umum.
Tetapi gudang
lama ini, tak ada yang mau mendekatinya karena konon, ada seorang siswa yang
pernah bunuh diri didalamnya. Klasik. Aku tak percaya rumor semacam itu,
jadi aku mengabaikannya. Lagipula, pemandangan dibelakang gudang ini terbilang
bagus, banyak pohon rindang yang menyejukkan mata. Tambahan, tak ada orang yang
mengganggu, bahkan petugas kebersihan atau satpam sekolah sekalipun. Hanya aku,
matahari, angin, dan kicauan burung yang menemani.
Aku melangkahkan
kakiku menuju kantin, suasana panas, pengap dan ribut seketika menyapaku begitu
aku memasukinya. Sungguh sambutan yang buruk, batinku. Aku langsung
menghampiri stand penjual minuman, membeli sebotol air mineral. Lalu aku
langsung menuju ke penjual pempek, setelah mendapatkan pesanan dan membayar aku
langsung memilih tempat duduk di paling pojok. Bukan apa-apa—aku hanya tak suka
berada di pusat pergerakan orang-orang.
Kulihat
seseorang berjalan menghampiriku—ah tidak, mungkin meja sebelahku—lalu aku
kembali membuang pandanganku ke sembarang arah. "Hai!" sapanya sambil
tersenyum. Entah kapan ia duduk dihadapanku tetapi sungguh—aku tak menyangka ia
akan benar-benar menghampiriku. Aku menoleh ke kanan dan kiriku-melihat apa
sebenarnya ia berbicara pada mereka. Tetapi tak ada orang selain aku. "Hm"
balasku singkat—bahkan hanya
berdehem, ah, aku benar-benar buruk dalam hal ini, pikirku.
"Aku
Alicia. Panggil aja Alice." ujarnya kemudian. Anak ini hebat—maksudku,
kukira ia akan pergi setelah mendengar responku—ia punya kepercayaan diri yang
tinggi juga. "Oh," aku membalasnya. "Gak ada meja kosong
lain?" lanjutku. "Sorry, kamu gak nyaman ya? Kalau gitu
aku–" "Kamu mau pergi? Silakan." potongku. Jika kalian ingin
tahu mengapa aku tak memiliki teman, mungkin inilah salah satu sebabnya.
Ia hanya tertawa
melihat responku.
"Aku tau,
kamu gak punya temen–" ujarnya. Entah kenapa itu lebih terdengar seperti
ejekan bagiku. Aku kehilangan selera makanku, lalu beranjak meninggalkannya
sendirian di meja itu. Dia pikir siapa dia, seenaknya datang dan mengejekku.
Aku berjalan
menyusuri koridor kelas XI IPA 2, kelasku. Aku memasuki kelas—yang entah sudah
berapa lama aku tak memasukinya—lalu duduk di bangku belakang. Ketika aku
melihat ke bangku sebelahku, ada sebuah tas yang asing disana. Dahiku
mengernyit, aku tak merasa pernah memiliki teman sebangku. Namun aku tidak
mempermasalahkannya, masa bodoh dengan teman sebangku, pikirku.
Aku menyumbat
kedua telingaku dengan earphone, lalu menyusuri playlist lagu di ponselku. Tanganku berhenti
menyusuri ketika mataku melihat satu judul lagu. Amnesia - 5 Seconds Of
Summer. Lantunan musik perlahan memenuhi indra pendengaranku, aku menopang
daguku dengan tangan. Sebagian liriknya begitu pas menggambarkan apa yang aku
inginkan saat ini.
Aku harap aku
dapat terbangun dengan keadaan amnesia. Dan melupakan semua kenangan-kenangan
bodoh ini.
Sesuatu
mengusikku, si pemilik tas di bangku sebelahku datang. Ia langsung duduk begitu
saja lalu mengoceh—aku bahkan tak tahu apa yang ia bicarakan, bicaranya sudah
seperti seorang rapper yang sering kutonton di youtube. Aku
melepas earphone dari telingaku, lalu menggebrak meja. Ia nampak
terkejut, namun itu tak memberhentikannya dari mengoceh. Sungguh. Aku bahkan
tak mengenalnya, dan ia sudah berbicara begitu banyak kepadaku. Ingin rasanya
aku berteriak didepan wajahnya—tunggu. Bukankah ia Alice?
Aku melayangkan
pandangan sinis padanya. Ia melihatku, namun ia sepertinya tak peduli. Aku
mendengus, hari sekolah biasa tanpanya saja sudah memuakkan bagiku. Dan
sekarang ditambah dengan kehadirannya—dan ocehannya? Aku lebih baik tidak
masuk sekolah sekalian.
Aku mengantongi
ponsel dan earphone milikku, lalu berjalan menuju tempatku—belakang
gudang lama. Orang-orang serempak melirikku dengan tatapan aneh ketika aku
melewati mereka. Aku balas menatap mereka dengan tatapan tajamku, yang membuat
mereka seketika kembali melakukan aktivitasnya yang sempat terhenti. Aku tak
tahu, mengapa mereka melihatku seperti itu. Apa mungkin karena hal itu?
Aku mempercepat
langkahku, bahkan aku melewati guruku begitu saja. Soal hukuman, aku sudah
biasa. Yang terpenting sekarang, aku harus mencari udara segar. Sesampainya
disana, aku langsung mendudukkan diriku diatas lantai keramik. Aku bosan. Aku
tidak mau sekolah. Aku sering sekali merasa kesepian ditengah kerumunan. Banyak
orang tak membuatku berhenti merasa kesepian. Entah mengapa—kesepian itu bahkan
lebih terasa. Dengan menyendiri, aku bisa lebih memahami diriku sendiri. Rasa
sepi itu malah hilang begitu saja.
***
"Heh,"
Aku merasa seseorang mengguncang tubuhku. "Bangun, jangan tidur disini!"
seru orang yang tadi mengguncang tubuhku—sepertinya. Aku cepat membuka mataku
dan mengusap wajahku kasar. Aku ketiduran dengan posisi duduk dan lagu yang
masih mengalun melalui earphone-ku. Aku melihat sosok yang
membangunkan—lebih tepatnya meneriaki—ku tadi. Lagi-lagi dia, Alice. Apa
maunya? Dan lagi, sekarang ia telah memasuki tempatku. Garis bawahi, tempatku.
"Ngapain
disini? Balik sana ke kelas!" ujarku, ya, sedikit mengusirnya. "Kamu
gak liat jam?" aku lantas melirik jam tanganku. Jarum pendeknya mengarah
pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya mengarah pada angka 5. Jam 03.25, ini
sudah hampir satu jam sejak jam bubar sekolahku—jam 02.30. Aku berlari
meninggalkannya menuju halte depan sekolah. Aku terlalu gengsi bahkan
untuk sekedar berterimakasih padanya.
5 menit.
10 menit.
15 menit.
Bus yang aku
tunggu belum juga terlihat. Padahal, seharusnya jam-jam saat inilah bus banyak
berkeliaran. Sampai akhirnya sebuah bus berhenti tepat didepan halte yang
kutempati saat ini. Itu bus menuju rumahku. Aku lantas memasuki bus tersebut,
dan memilih tempat duduk yang bersebelahan dengan kaca jendela bus. Lalu bus
itu pun perlahan mulai berjalan maju.
Aku membuka
tasku dan mengambil sebuah sketch book. Menggambar adalah satu-satunya
keahlianku—disamping memanjat pagar sekolah. Aku menuangkan sedikit emosiku
kedalam gambar yang kubuat. Tetapi sayang, sebelum aku sempat menyelesaikan
gambarku, bus sudah terlebih dulu sampai di halte tempatku harus turun. Aku
segera turun setelah membayar. Aku ingin cepat sampai ke rumah, aku sudah tak
sabar ingin merebahkan diri di kasur.
***
Suasana meja
makan di rumahku begitu sunyi. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan
piring. Entah mama menerapkan pemikiran bahwa ketika makan tak boleh berbicara,
ataukah mama memang sedang banyak pikiran dan tidak mood berbicara.
Tetapi hal ini juga tidak jarang terjadi—terkadang juga mama berbicara, hanya
sekedar menanyakan bagaimana sekolahku, lebih tepatnya menyuruhku belajar.
Terkadang aku berfikir, apakah mungkin apa yang orang-orang katakan
tentangku itu benar.
Malam ini begitu
dingin. Kututup jendela kamarku, dengan harap angin malam tidak memperparah
suhu ruangan kamarku. Tetapi nihil, meskipun aku sudah memakai selimut, dingin
itu tetap terasa, membuatku ngilu—katakanlah aku berlebihan, tetapi malam ini
dinginnya menusuk tulang. Kepalaku juga terasa berat dan pusing. Sepertinya,
besok aku tidak akan masuk sekolah. Ah, tetapi sebenarnya masuk atau tidak juga
sama saja bagiku, lagipula saat di sekolah pun aku tidak menghadiri kelasku.
Aku terus
menggeliat, mencari posisi yang nyaman dan hangat untuk tidur. Aku tak sengaja
melihat kalender yang berada di nakas. Sekarang tanggal 26 Oktober. Aku
tersenyum kecut. Jadi begini rasanya ketika tak ada yang peduli lagi padaku?
Bahkan pada hari ulang tahunku, aku tak mendengar ucapan selamat sama sekali.
Tahun lalu aku masih mendapatkan banyak ucapan selamat dan beberapa buah kado.
Tetapi semua hal telah berubah, setelah kejadian itu.
Ingin aku
menutup mataku dan tertidur, namun aku tidak bisa. Aku merasa masih terlalu
segar hanya untuk terlelap di tempat tidurku. Aku ingat, saat aku kecil, mama
selalu membuatkan aku susu vanilla hangat untukku jika aku tak bisa
tidur. Mungkin jika aku membuatnya, aku akan lebih cepat mengantuk.
Aku memakai
jaket tebalku, lalu membuka pintu kamarku perlahan dan mengendap-endap menuruni
tangga, memasuki dapur. Aku membuka laci dapurku dan mengeluarkan satu sachet
susu vanilla bubuk, lalu menuangkannya kedalam gelas. Kemudian aku
mengisi gelas itu dengan air hangat dari dispenser. Ketika aku baru saja
akan meneguk susu itu, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku
menoleh ke belakangku, ternyata itu mama. Aku menghela nafas lega, aku sempat
takut bahwa itu adalah maling. Aku dengan cepat menghabiskan susu itu, lalu
mencuci gelasnya.
"Aletha,"
baru saja aku hendak beranjak kembali ke kamarku. Aku langsung berbalik
menghampiri sang sumber suara. "Iya ma?" aku tidak tahu, aku merasa
suasana diantara aku dan mama cukup canggung untuk ukuran seorang anak dan
ibunya. Sudah lama aku tidak bicara langsung dengan mama. "Kenapa kamu
pakai jaket tebal seperti itu?" tanyanya. Sebenarnya aku agak bingung
untuk menjawab apa—karena bukankah sudah jelas jika seseorang memakai jaket
berarti ia merasa kedinginan? "Dingin, hehe" ujarku berusaha untuk
lebih santai. "Aletha ke kamar duluan ya, ma" lanjutku. Aku berbalik,
mulai berjalan keluar dapur. "Aletha," mama menahan tanganku.
"Selamat ulang tahun ya, maaf mama tidak bisa memberi apa-apa."
lanjutnya sambil memelukku. Seketika hatiku menghangat, setidaknya ketika
orang-orang diluar sana membenciku, aku masih memiliki mama yang menyayangiku
setulus hatinya.
***
Pagi ini aku
terbangun dengan kompres di dahiku. Aku tak ingat, kapan aku melakukannya. Aku
mendudukkan diri di tepi ranjang. Kepalaku masih sedikit terasa pusing—entah
efek baru bangun tidur atau memang sakit. Aku meregangkan badanku, lalu
berdiri. Saat aku berjalan, kakiku tak sengaja menendang baskom yang berisi air
kompresan. Aku langsung berjalan keluar kamar, tetapi belum sempat aku membuka
pintu, pintu itu sudah terlebih dahulu terbuka dari luar.
"Kamu udah
bangun? Itu biar mama aja yang bersihin, kamu tidur lagi aja, mukanya masih
keliatan pucat gitu." ujar mama sambil kembali keluar kamar untuk mengambil
lap. Aku agak bingung, selama ini mama jarang sekali memerhatikanku, tetapi
sejak semalam, mama mendadak lebih memberiku perhatiannya. Tidak,
tidak—bukannya aku tidak suka, aku hanya merasa tidak biasa.
Aku hanya
berdiri mematung di depan pintu, aku tidak tahu apakah aku harus kembali ke
kamarku atau tidak. Aku melihat mama perlahan muncul dari arah tangga, aku
lantas menghampirinya. "Ma, biar Aletha aja, Aletha udah gak sakit
kok." kataku sambil mengambil alih lap di tangan mama. Mama hanya tersenyum,
mengusap kepalaku. "Setelah beres-beres, cepet mandi dan siap-siap untuk
sekolah, kita sarapan di jalan aja ya." ujar mama, lalu ia keluar dan
menutup pintu kamarku kembali. Aku yang sudah selesai dengan membersihkan
lantai pun langsung bergegas mandi dan bersiap.
***
Aku berjalan
menuju kelaku. Hari ini perasaanku sedang baik, aku tak lagi menyendiri di
tempatku saat jam pelajaran. Aku juga tidak terlambat—tentu saja karena mama.
Saat aku memasuki kelas, teman-teman sekelasku melihatku dengan pandangan—entahlah,
aku tak tahu, tetapi mereka terlihat terkejut dengan kehadiranku. Aku sudah
terlalu sering absen di kelas, hingga aku baru sadar bahwa kelasku telah dicat
ulang dan tirainya sudah diganti. Seingatku, kemarin keadaan kelas masih
seperti sebelumnya, atau itu hanya perasaanku saja?
Lagi-lagi aku
mendapati Alice sedang duduk di bangku sebelahku. Ia bahkan menyapaku. Jika
dalam situasi biasa, aku hanya akan mengabaikannya—atau malah menatapnya
sinis—seperti kemarin. Namun karena mood-ku sedang baik, aku malah
menyapanya balik. Beberapa anak terlihat terkejut dengan perubahanku yang bisa
dibilang drastis—tapi bisa tolong kecilkan suara kalian? Bahkan orang yang
sedang kalian bicarakan ini dapat mendengarnya terang-terangan. Aku menaruh
tasku di bangkuku, lalu duduk.
Aku menggaruk
kepalaku yang sebenarnya tidak gatal—saking seringnya aku absen, aku lupa
pelajaran apa saja yang akan kelasku pelajari hari ini. Aku mengeluarkan
seluruh buku tulis dan buku paketku yang berada di kolong meja, mencari jadwal
pelajaran yang—jika tidak salah ingat—kusimpan disana.
"Nyari
ini?" ujar Alice tiba-tiba sambil mengacungkan selembar kertas. Itu jadwal
pelajaranku. Aku mengangguk, lalu ia memberikan kertas itu padaku. "Terima
kasih," ucapku pada Alice. "... dan maaf karena kemaren sempet
nyuekin, sebenernya aku gak bermaksud gitu." lanjutku. Kata-kata yang
sejak kemarin kupendam itu mengalir begitu saja. "Gak apa-apa," jawab
Alice. Hal yang baru aku sadari sekarang—Alice itu ramah dan easy going.
"Aku juga sebenernya kemaren–" "Selamat pagi, anak-anak!"
lalu ucapan Alice terpotong oleh guru kami pagi ini.
***
Bel istirahat
sudah berbunyi, aku baru saja ingin pergi ke kantin untuk membeli makanan.
Tiba-tiba aku teringat dengan Alice, aku langsung berbalik dan mengajaknya pergi
bersama. Tentu saja ia dengan senang hati menerima ajakanku. Kami lalu berjalan
ke kantin bersama. Selama perjalanan di kantin, aku terus memikirkan apakah aku
juga akan mengajak Alice ke tempatku atau tidak.
"Kita gak
ke belakang gudang yang kemaren itu aja?" ucapan Alice membuyarkan
pemikiranku. Oh iya, kemarin kan ia yang membangunkanku ketika aku tertidur
disana. "Kamu mau kesana?" aku bertanya balik. "Iya. Aku
heran, kenapa disana sepi, padahal pemandangannya bagus, sejuk lagi."
katanya, menunjukkan ketertarikannya pada tempat itu. Aku hanya mengangguk
perlahan, lalu mengajaknya kesana.
"Aku baru
liat kamu kemaren. Kamu murid baru?" tanyaku padanya sesampainya kami
disana. "Oh iya, kita juga belum kenalan secara resmi kan? Aku
Aletha." lanjutku sambil mengulurkan tanganku—untuk bersalaman. Aku bahkan
baru ingat bahwa kami belum berkenalan saat perjalanan kami kesini. Karena
sejak tadi ia hanya memanggilku dengan kata 'kamu'.
Ia menjabat
tanganku sebagai respon. Hari ini aku memiliki seorang teman baru, mungkin
satu-satunya temanku—setidaknya untuk saat ini. Kami berdua diam, tidak ada
yang berbicara. Kami sedang bergelut dengan pikiran masing-masing—entahlah,
atau hanya aku saja, aku tak tahu. Hembusan angin dan suara dedaunan yang
saling beradu membuatku lebih tenang. Seakan mengerti bahwa aku sedang
menikmati suasana ini, ia—Alice—juga ikut diam, membiarkan beban pikirannya
terangkat meskipun hanya untuk sementara.
"Aku—bingung.
Pusing. Kesel, pengen marah tapi gak tau sama siapa." Alice menoleh
kearahku begitu aku mulai berbicara. "Dulu aku gak gini. Aku gak pernah
bolos. Aku gak pernah terlambat—pernah sih, sekali dua kali. Tapi dulu aku gak
pernah ketus, pendiem, atau jutek." lagi-lagi Alice hanya mendengarkan,
menunggu kelanjutan ceritaku. "Aku gak tau pertamanya gimana, tiba-tiba
mereka—yang dulunya temen, bahkan temen deket—pada ngejauhin aku." Alice
mulai mendekat dan menopang dagunya diatas tangan, antusias mendengarkanku.
"Mereka bilang aku anak yang gak berguna. Mereka bilang aku penyebab dari
semua itu–" aku mulai mendongakkan kepalaku, berusaha menahan bulir-bulir
air mata yang bisa jatuh kapan pun ia mau. "Mereka bilang aku penyebab
orang tuaku cerai." lanjutku pada akhirnya. Alice tertegun mendengar
ceritaku.
"Aku bahkan
gak pernah cerita sama siapapun soal perceraian mereka," aku kembali
berbicara. "Mereka bilang aku anak broken home, punya gangguan
mental dan depresi. Padahal apa yang salah dengan menjadi seorang anak broken
home? Bahkan kalau aku bisa merubah takdir, aku juga gak akan memilih jadi anak
broken home." lanjutku. Air mata yang sedari tadi susah payah aku
tahan, mengalir begitu saja seperti aliran sungai yang menerjang saat
bendungannya rubuh. Alice mengusap punggungku perlahan, berusaha menenangkanku.
"Alesan
mereka jauhin aku 'sih,
katanya takut ketularan depresi, tapi aku bahkan gak se-putus asa itu buat
depresi cuma gara-gara orang tua aku cerai. Iya—sedih, banget. Tapi aku juga gak mau
terpuruk, jadi aku pelan-pelan mulai coba gak nginget-nginget soal itu
lagi," "Tapi mereka tetep ngejauhin aku. Aku jadi benci
sekolah." tuturku. "Aku juga," ujar Alice tiba-tiba. "Aku
juga anak broken home. Sebelum kamu cerita, aku udah tau kamu broken
home juga." lanjutnya. Dari mana ia tahu? "Kamu persis kayak aku
waktu awal-awal perceraian orang tuaku. Dari mulai dijauhin, digosipin, sampe
bolos-bolos pelajaran." seolah bisa membaca pikiranku, ia menceritakan
alasan mengapa ia bisa tahu sebelum aku memberitahunya.
"Tapi
lama-lama aku sadar," ujarnya kemudian. Aku tak tahu bahwa perkataannya
tadi masih memiliki lanjutan. "Menjadi jutek, cuek, apalagi sering bolos
gak akan ngembaliin keluarga aku jadi utuh lagi, atau setidaknya ngembaliin teman-temanku. Aku berhenti bolos, aku mulai
mencoba bersikap ramah lagi. Canggung sih, pertamanya juga mereka masih nyuekin
aku. Tapi lama-lama mereka juga jadi welcome lagi ke aku. Sampe akhirnya
aku harus pindah sekolah karena kerjaan papa yang pindah kesini. Aku ngerasa
gak ada beban lagi pas pindah, karena hubungan aku sama temen-temen disana juga
udah baik lagi." jelasnya panjang lebar.
Aku tidak tahu,
seorang yang seramah, seceria, dan se-cerewet Alice punya pengalaman
yang sama denganku. Mendengar ceritanya, aku merasa bahwa aku tak sendiri.
Bukan hanya aku yang pernah merasa sedih. Kalau Alice bisa bangkit, mengapa aku
tidak? Aku mulai membenarkan dudukku, menghapus seluruh air mataku. Kemudian
aku bangun, berdiri dan merapikan seragamku, begitu pula dengan Alice, bersiap
untuk kembali ke kelas.
Baru beberapa
langkah kami melangkah, Alice memberhentikanku. "Oh iya, satu lagi."
ujarnya padaku. Aku menaikkan satu alisku. Apa lagi yang mau ia katakan?
"Aku mau minta maaf." katanya tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahiku.
"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku. Aku benar-benar tidak tahu mengapa ia
meminta maaf. "Kemaren itu aku gak bermaksud ngejek kamu," oh! Aku
jadi ingat, kemarin ia 'mengatai'-ku bahwa aku tak punya teman. Maksudnya yang
itu?
"Waktu itu
aku belom selesai ngomong. Kamu malah pergi, kayak yang tersinggung gitu"
tuturnya. "Sebenernya, waktu itu aku mau bilang gini, aku tau, kamu gak
punya temen, persis kayak aku dulu. Temenan yuk?" lanjutnya. Aku langsung
menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal—aku malu karena ia tahu persis
bahwa aku salah paham terhadapnya. Aku mengangguk lalu membalas, "Aku juga
minta maaf, udah salah paham hehe."
Kami pun
melanjutkan perjalanan ke kelas, kali ini senyum terpampang di wajahku, tak
seperti biasanya. Aku berharap, perlahan-lahan semua orang akan mengerti bahwa
menjadi anak seperti kami—broken home—itu bukanlah suatu hal yang kami
kehendaki. Menjadi seperti kami juga tidak lantas membuat kami bisa dicap
sebagai seseorang yang stress atau depresi. Mereka harusnya tahu, bahwa
orang seperti kami adalah orang yang kuat, yang dapat bangkit dari keterpurukan
yang orang lain belum tentu bisa melakukannya. Aku jadi ingat mama, aku juga
yakin bahwa ia berpikiran sama denganku. Ia pasti tahu aku anak yang kuat. Aku,
Alice, dan juga mereka semua yang bernasib sama seperti kami lah yang akan
membuktikan hal itu pada semua orang.
***
"Ya,
anak-anak, itu adalah cerita yang dapat menginspirasi kita, bahwa kita tidak
bisa memandang orang lain dengan sebelah mata. Ada yang tahu apa amanat dari
kisah yang tadi ibu bacakan?" suara seorang guru terdengar lembut dan
keibuan di suatu kelas di SD Negeri 127 Bandung. Disaat yang lain terdiam di
bangkunya, seorang anak mengacungkan tangannya tinggi-tinggi.
"Ya,
Agatha, apa jawaban kamu?" tanya sang guru pada anak yang mengacung
tadi—Agatha. "Tidak boleh berprasangka buruk, bu! Tadi 'kan, Aletha ngira
kalau Alice ngejek dia, padahal dia gak bermaksud begitu" jawabnya.
"Benar yang dikatakan Agatha. Ada lagi?" guru itu bertanya lagi. Ada
dua orang anak lagi yang mengacungkan tangannya. "Arsen, silakan jawab."
tunjuknya pada Arsen, salah satu dari dua orang yang tadi mengacungkan
tangannya karena ia yang lebih awal. "Jangan bersedih terlalu lama seperti
Aletha, nanti gak punya temen." jawabnya.
Sang guru hanya
terkekeh karena jawaban Arsen yang terlalu polos. "Itu juga benar, nah, Aluna?"
guru itu memberi kesempatan bagi muridnya untuk menjawab. "Harus selalu
ceria seperti Alice, biar bisa bikin temennya seneng juga!" jawabnya
bersemangat. "Benar! Ada la–" ucapannya terpotong karena bel pulang
sudah berdering. "Baiklah, pelajaran hari ini ibu akhiri, jangan lupa
untuk menerapkan amanat dari kisah tadi ya! Sebelum kalian pulang, berdoa dulu
sesuai agama dan kepercayaan masing-masing." ucapnya. Seisi kelas hening
sesaat karena sedang berdoa. Setelah memberi salam, anak-anak berbondong-bondong
mengantre untuk menyalami gurunya. Tetapi, guru itu melihat ada seorang anak
laki-laki yang tetapi diam di bangkunya, tidak mengikuti teman-temannya
mengantre.
Setelah selesai
disalami oleh semua murid kelasnya—kecuali yang satu tadi, tentunya—ia berjalan
menghampiri anak itu. "Aldrian gak pulang?" tanyanya pada anak itu,
yang ternyata bernama Aldrian. "Itu cerita ibu sendiri kan?" Aldrian
malah bertanya, bukannya menjawab pertanyaan dari gurunya. Guru itu terkejut,
tetapi ia dengan pintarnya menyembunyikan keterkejutannya dengan senyuman.
"Kok Aldrian tau sih?" ia balik bertanya. "Mama aku pernah
cerita kayak gitu, katanya temen lamanya yang ngalamin" jawab Aldrian.
Guru itu tertegun, setelah ia perhatikan, karakter wajah Aldrian
mengingatkannya pada satu orang. Ya, Claretta Alicia, tokoh Alice yang ia tulis
dalam kisahnya tersebut. Ia lalu kembali tersenyum dan berkata, "Iya,
ssstt, jangan kasih tau yang lain, ya!". Aldrian mengangguk, menyalami
gurunya lalu pergi keluar kelas.
Guru itu menutup
jendela dan baru akan mengunci pintu kelas setelah semuanya pulang, termasuk
Aldrian. Sambil melalui deretan meja, ia tersenyum, sepertinya ia akan bertemu
lagi dengan sahabatnya yang sudah lama terpisah, berkat Aldrian. Ia memandangi
papan nama diatas mejanya, Kanaya Indira A., S.pd. Semoga saja
muridnya—kecuali Aldrian—tak ada yang sadar, bahwa A dalam namanya adalah
Aletha, tokoh utama dalam kisah yang ia rangkai.
Comments
Post a Comment