Pergaulankuku Merenggut Nyawaku ; by Alifia

Pergaulankuku Merenggut NYAWAKU

Nama gue Anggun, anak ketiga dari empat bersaudara. Dan saat ini umur gue genap 17 tahun. Masa dimana gue menuju jenjang kedewasaan. Rasa senang itu ada, tapi yang gue takutin “Apakah gue mampu mengontrol emosi gue sendiri??” SMA adalah masa-masa paling indah yang gue alami sepanjang hidup, dimana gue bisa mengenal satu sama lain. Tapi kedewasaan gue juga tidak mampu membuat impian gue terwujud seperti yang gue inginkan. Kecemburuan gue terhadap bokap dan nyokap gue yang selalu mentingin urusan mereka dan selalu mentingin urusan kakak dan adik gue yang membuat gue seperti ini. Waktu itu adik dan kakak-kakak gue mampu mendapat nilai terbaik dimana bokap nyokap selalu membanggakan mereka. Gue iri sama mereka, dari situ gue mampu bangkit dan optimist demi membuat bokap nyokap bangga. Tapi, mereka selalu mengganggap gue gak ada. Mereka selalu menganggap gue selalu buat keluarga malu.

Sampai akhirnya, disuatu hari gue bertemu dengan rombongan yang terkenal bejatnya disekolah gue. Sebut saja namanya genk CANDIE. Mereka adalah anak-anak orang kaya, yang sombong, angkuh, dan gak punya hati. Tapi gue juga bingung, saat itu gue bisa terhasut omongan mereka semua. Gue mulai mengenal yang namanya MIRAS juga dari mereka, Narkoba juga mereka yang ngajarin gue untuk nyoba. Pertama nyoba iya, rasanya lain tapi lama-kelamaan gue jadi ketagihan dan ketergantungan sama obat-obatan terlarang itu. Gue yang dulunya doyan dirumah, sekarang malah gak betah. Satu menit dirumah rasanya kaya setahun ditahanan. Biasanya bel sekolah udah bunyi, gue buru-buru keluar soalnya takut bokap nyokap khawatir. Tapi sekarang, dengan santainya gue nunggu teman-teman genk Candie untuk minta obat-obatan itu ke mereka karena setiap saat badan gue selalu menggigil dan kepala gue juga pusing berat. Bagi gue obat itulah hidup gue, gak ada nyokap bokap, gak ada kak Tasya, gak ada mas Dimas, dan bahkan gak ada Qeeila, yang ada hanya gue dan obat itu.

Ketergantungan gue terhadap obat itu juga membuat kesehatan gue menurun drastis, kadang tanpa sadar gue marah-marah gak jelas sama nyokap karena kebawelannya nanyain kemana gue pergi. Bahkan karena kekesalan gue, gue juga pernah dorong nyokap sampai jatuh. Dan disitu bokap nampar gue, dan entah apa yang diomongin gue kagak tau. Kak Tasya dan mas Dimas juga mulai curiga ke gue, karena akhir-akhir ini tingkah gue aneh dan kadang-kadang ngeselin. Bahkan mereka juga pernah nanyain gue, ke Bela dan Nadin sahabat karib gue dari SMP. Kemana aja gue pergi setelah pulang sekolah??  dan selama disekolah gue deket sama siapa aja?? Dan untungnya Bela dan Nadin gak ngakuin apa-apa aja yang gue lakuin disekolah maupun luar sekolah.

Tiga bulan kemudian, saat kesehatan gue bener-bener drop dan gak bisa ngapa-ngapain, semua panik. Bokap, nyokap, kak Tasya, mas Dimas, dan Qeeila, termasuk kedua sahabat karib gue bahkan guru-guru sekolah gue juga ikut khawatir dengan keadaan gue. Badan gue menggigil, muka pucat kayak mayat. Mereka gak nyangka, gue yang selama ini kelihatan baik-baik aja tiba-tiba sakit. Gue yang selama ini rajin dan aktif dalam mengikuti pelajaran sekolah tiba-tiba jadi pemalas dan kasar pula. Kehkawatiran keluarga, sahabat dan guru-guru gue membuat mereka semakin curiga. Nyokap nanyain gue kenapa, tapi gue diem aja. “Anggun kamu kenapa nak??” Tanya nyokap. “Kak Anggun, kakak kenapa??” Sambung Qeeila adik bungsu gue yang masih duduk dikelas 3 SMP. Gue semakin bingung dengan keadaan dan situasi itu, kalo gue nekat keluar dari rumah dan minta obat itu ke Candie mereka semua akan curiga. Tapi gue gak kuat, dengan keadaan yang gue rasain. “Ma, sakit Ma!!!” Kata gue ke nyokap. Tiba-tiba kesadaran gue hilang, dan saat gue sadar gue sudah ada di rumah sakit dan semua mengelilingi gue seperti akan mencengkeram gue. Terbaring lemas ditempat tidur dengan alat-alat medis yang menempel di tubuh gue. “Kenapa Anggun kamu nekat nyoba-nyoba barang haram itu???” Kata mas Dimas. Gue cuma bisa diem dan nangis. “Papa kecewa sama kamu Anggun?? Papa kira kamu anak yang bisa membuat papa, mama, mas Dimas, kak Tasya dan Qeeila bangga sama kamu, tapi apa nyatanya kamu membuat semua hancur. Kamu merusak masa depanmu sendiri.” Ucap bokap dengan wajah marah ke gue. Gue Cuma bisa nangis, nangis, dan nangis. Penyesalan gue ratapi dan tidak tau apa yang harus gue lakuin. Pa, maafin Anggun Pa?? Anggun tau Anggun ini anak pembawa malu dalam keluarga. Anggun tau Anggun salah. Anggun lakuin ini semua karena Anggun iri sama mas Dimas, kak Tasya, sama Qeeila Pa. Mereka selalu bisa buat Papa sama Mama bangga, sedangkan Anggun cuma bisa buat keluarga malu.” Derai air mata terus mengalir dari pelupuk mata gue. Dengan sigap Papa meluk gue dan berkata “maafin Papa nak, Papa gak tau kalau kamu segitu irinya sama kakak-kakak dan adikmu”.

Ruangan itu penuh dengan haru tangisan dari keluarga dan sahabat gue. Beberapa menit kemudian, Bu Indah salah seorang guru disekolah gue bertanya “Anggun, siapa yang menghasutmu untuk ikut mencoba barang haram itu??” Aku takut saat Bu Indah bertanya seperti itu dan kak Tasya menenangkanku. “Tenang Anggun nggak usah takut, semua akan baik-baik aja kok. Kan ada mas Dimas, Papa, Mama, kakak, Qeiila dan orang-orang yang sayang sama kamu disini. Siapa tau dengan kamu memberitahukan orang-orang itu semua akan kembali seperti dulu lagi” kata kak Tasya. Aku merasa lega dan merasa berani setelah mendengarkan saran dari kak Tasya. Dan aku mulai menjelaskan semuanya. “Rombongan Candie yang sudah membuat Anggun seperti ini. Anggun nyesel banget, udah ikut omongan mereka. Semua hancur gara-gara Anggun sendiri, seperti yang Papa bilang. Anggun ini cuma anak pembawa malu keluarga.” Isak tangisku membuat mereka semakin sedih dan membuatku drop dan pingsan kembali. Dan aku menjalani masa komaku. Karena pada saat itu keadaanku benar-benar sangat lemah.

Semua tampak sedih, tiga hari berlalu aku belum kunjung sadar. “Anggun, bangun nak?? Ini Mama. Bangun nak, jangan buat semua khawatir” kata Mama sambil menangis. Dan dalam masa komaku itu, aku hanya bisa mendengar tapi tidak dapat berbuat apa-apa. “Anggun bangun dong, kasian Mama. Kamu harus bangun demi kita. Mas janji nggak akan buat kamu marah lagi, nggak akan buat kamu BT lagi, mas janji akan beliin boneka Hello Kitty warna biru buat kamu. Tapi kamu harus bangun Anggun” ucap mas Dimas sambil meneteskan air mata. Memang semua mengharapkan kesembuhanku, tetapi Tuhan berkata lain, keadaanku semakin memburuk dan hidupku hanya sebatas alat-alat medis itu. Aku mencoba bertahan demi keluargaku, demi sahabatku dan demi orang-orang yang menyayangiku. Tapi takdir memang tidak bisa dipungkiri. Isak tangis membanjiri ruangan itu, disana yang terbaring tinggalah ragaku. Mungkin dengan kepergianku semua akan lebih baik. Mama, Papa, Qeeila, mas Dimas, kak Tasya, Anggun sayang sama kalian. Ketidakmampuan Anggun untuk menolak takdir yang membedakan dunia kita.

Comments